JAKARTA (IndoTelko) - Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menilai kedaulatan digital Indonesia harus didefinisikan ulang.
”Kita perlu redefinisi kedaulatan digital itu seperti apa? Karena kedaultan di media maya berbeda dengan yang lain. Saya penganut nilai tambah, selama nilai tambah dari suatu proses bisnis, maka itu kita gunakan. Tidak perlu semuanya harus ada di Indonesia, karena teknologi digital sudah global jadi pola pikir kedaulatan ini yang harus kita rumuskan. Dalam merumuskan kedaulatan kita tidak boleh chauvinistik dalam dunia digital,” ungkapnya seperti disiarkan laman Kominfo dalam acara Ngopi di Museum Perumusan Naskah Proklamasi Jakarta, Selasa (29/8).
Menurutnya, pemerintah terus berupaya menjaga kepentingan nasional dengan mendorong berkembangnya aplikasi lokal. Meski saat ini ada kecenderungan masyarakat lebih suka menggunakan aplikasi asing, tapi bisa diubah mindset-nya terhadap aplikasi lokal.
“Kita mungkin bisa mengajak psikolog untuk melihat perilaku sosial masyarakat kita yang lebih suka pakai aplikasi asing. Padahal aplikasi nasional kita banyak, sehingga kita perlu ubah mindset perilaku konsumen Indonesia untuk gunakan aplikasi lokal,” jelasnya.
Rudiantara mengatakan bahwa posisi Kominfo tidak lagi sebagai regulator tetapi sebagai fasilitator dan akselerator.”Kita jaga kepentingan nasional bukan dengan detail regulasi. Peran Kominfo mendorong aplikasi lokal berkembang, bagaimana resources yang dimiliki pemerintah bisa dimanfaatkan,” ujarnya.
Menutup sambutannya Chief RA memberikan tips untuk para pembuat startup agar fokus kepada dua bidang yaitu pendidikan dan kesehatan. “Cari aplikasi di bidang pendidikan, karena APBN kita besar untuk pendidikan. Kedua di bidang kesehatan, hal ini disebabkan 5% APBN kita dibelanjakan untuk kesehatan. Kalau mau buat aplikasi kejar kesana. Fokus ke pendidikan dan kesehatan, 500 triliun uang meluncur ke dua hal tersebut.” terangnya.
Bukan Indonesia
Ketua Tim Pelaksana Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional Ilham A. Habibie menambahkan bahwa saat ini dominasi aplikasi dan konten yang diakses adalah bukan milik Indonesia. “Kita perlu cari solusi terhadap masalah strategis nasional. TIK merupakan infrastruktur penting yang menjadi sumber daya produksi penggerak ekonomi dan merupakan sektor strategis dan asset berharga pemerintah. Sehingga kita memerlukan kebijakan yang mendukung kedaulatan digital,” kata Ilham.
Kedaulatan digital sendiri dijelaskan oleh Ilham meliputi lima aspek yaitu platform, devices, networks, data, apps. Dimana di dalamnya mencakup penguasaan HKI dan antarmuka dengan konsumen; penguasaan kemampuan strategis dan teknologi; dan kebijakan yang mendukung kedaulan.
"Pendapatan aplikasi asing dari pasar Indonesia per tahunnya sangat besar mencapai lebih dari US$ 1,2 miliar dimana biaya akses aplikasi asing dari Indonesia lebih dari US$ 600 juta," katanya.
Ditambahkan oleh Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Santosa Sungkari, dalam ekonomi kreatif fokusnya adalah terkait Hak Kekayaan Intelektual (HKI) bisa berupa merk, hak paten dan hak cipta. HKI ini yang harus dipegang oleh masyarakat Indonesia.
“Selama ini kita tidak terbiasa dengan nilai tambah. Yang terpenting apa yang bisa kita rumuskan untuk kedaulatan digital dan bagaimana bisa mengubah Indonesia dengan kedaulatan digital.” jelas Hari.(ak)